FORMASI IDEOLOGIS DALAM SRI SUMARAH Oleh Baban Banita “Pohon beringin, pohon yang paling tertuaaa….” (Umar Kayam, 1975) 1. Gramsci dan Formasi Ideologis Karya sastra, selain sebagai refleksi masyarakatnya, juga mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat. Hal tersebut merupakan penjabaran teori struktural/ideologis general dari Gramsci yang kemudian diterapkan di dalam sastra. Sebagai bagian dari formasi ideologis, karya sastra dapat bersifat hegemonik maupun counter hegemonik atau bersifat inkorporasi maupun resistensi terhadap wacana dominan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa mempermasalahkan wacana kekuasaan biasanya dibarengi dengan penolakan. Dalam realitas, perlu diperhitungkan bahwa kekuasaan selalu melahirkan penolakan atau perlawanan1. Dalam kesusastraan Indonesia, sastra mengalami depolitisasi sejak Orba2. Ada sejumlah bentuk sensor bagi sejumlah karya sastra yang dianggap mengancam status quo atau adanya penghargaan bagi kesusastraan yang a-politis. Oleh sebab itu, misalnya, karya-karya Pramoedya dilarang oleh pemerintah, tetapi karya Umar Kayam tidak termasuk ke dalam sastra yang dilarang oleh pemerintah. Mungkin karya-karya Kayam termasuk yang rapih bersembunyi dalam simbol-simbol dan metafor sehingga pihak sensor tidak menemukan kekritisan dalam karya-karya Kayam. Atau mungkin karya Umar Kayam tidak mengandung resistensi terhadap pemerintah Orba yang berkuasa. Gramsci (Simon,2001:22), mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana dikemukakan Lenin) menjadi sebuah konsep yang (seperti halnya konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara) menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara ke dalam konsepnya tentang hegemoni. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dan kekuatan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis3. Sastra sebagai salah satu bentuk karya seni merupakan suatu situs hegemoni yang di dalamnya terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu susunan dengan 1 Dalam Haryatmoko, 2002 2 Dalam Ariel Heryanto yang ditulis kembali oleh Faruk, 1994 3 Untuk hal ini Gramsci memberi contoh dengan Revolusi Prancis. Menurutnya revolusi itu takan pernah terjadi jika tidak terjadi revolusi ideologis yang merupakan kebangkitan dan penyebaran filsafat pencerahan. Dengan demikian,revolusi sosial harus diahului oleh revolusi ideologis. hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatip. Formasi ideologi menurut Herjito (2002:25), tidak hanya membahas bagaimana hubungan antara ideologi-ideologi tadi. Hegemoni ideologi muncul dalam teks-teks, baik yang diproduksi kelompok yang dominan maupun kelompok subaltern. Teks merupakan bagian dari praktik-praktik sosial yang ada di masyarakat. Hal ini disebut sebagai bagian dari hegemoni, sementara di sisi lain ada keseluruhan yaitu struktur masyarakat yang berada di luar teks. Dengan memperhatikan keseluruhan, formasi ideologi yang telah ditemukan di dalam teks kemudian dicek kembali. Dari sudut pandang ini, struktur kualitatif mengacu pada bagaimana hubungan teks dan pengarangnya dengan situasi historisnya. Jadi, Hegemoni Gramsci, materialisme historis, yaitu melihat masyarakat dalam persfektif menciptakan masyarakat baru dalam konteks dialektika antara kekuatan material dengan kekuatan ideologi. Gramsci memakai istilah yang ekuivalen dengan ideologi, yaitu kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, konsepsi mengenai dunia, atau reformasi moral dan intelektual (Simon, 2001:85). Dalam pandangannya ideologi mengandung empat elemen, yaitu elemen kesadaran, elemen material, elemen solidaritas identitas, dan elemen kebebasan. Formasi ideologi ini tidak harus mencul bersamaan, formasi ini muncul melalui tokoh, latar, serta peristiwa. 2. Formasi Ideologi Sri Sumarah a. Sri Sumarah, Sumarto, Mbah Sri Sumarah adalah sebuah cerita pendek yang cukup panjang untuk ukuran cerita pendek Indonesia. Cerita ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Sri Sumarah sebagai tokoh utama (sesuai dengan judul) yang hidup dalam dua wilayah dunia politik sebagai latar sosial cerita, yang sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Wilayah pertama adalah dunia politik masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno dan wilayah kedua adalah dunia politik Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Yang paling menarik dari cerpen ini adalah bagaimana sebuah peralihan kekuasaan yang masa itu sangat ‘hiruk pikuk’, mempengaruhi perjalanan hidup Sri Sumarah. Semasa mudanya Sri adalah seorang pelajar tamatan SKP dari kota J. Dia anak yatim piatu yang dibesarkan embahnya dalam kekentalan suasana budaya Jawa dengan penuh kasih sayang. Peristiwa cerita ini mengacu pada tahun 60-an ketika pergolakan politik sangat dinamis. Sri dinikahkan oleh embahnya kepada seorang guru (priyayi) bernama Sumarto yang kemudian sesuai dengan adat Jawa berganti nama menjadi Marto Kusumo, dan Sri pun mendapat nama baru yaitu Bu Marto. Sebelum menikah Sri banyak diberi wejangan oleh embahnya terutama tentang bagaimana menjadi perempuan Jawa. Dalam hal ini perempuan harus seperti Kunti (ibu para Pandawa) yang rela berkorban untuk kebahagiaan anak-anaknya, dan harus seperti Sembadra (istri Arjuna) ketika menjadi istri yang harus berbakti kepada suami, membahagiakannya secara lahir dan batin. ….Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati. Patuh, sabar, mengerti akan kelemahan suami, mengagumi akan kekuatannya (Kayam, 2003:187). Sri oleh embahnya diajak ke dunia wayang yang merupakan model bagi orangorang Jawa. Formasi ideologi Embah adalah tradisionalisme yang memegang kuat falsafah Jawa, dia juga seorang feodalisme yang menguasai tanah sebagai sumber penghidupannya. Ideologi kesadarannya, hidup dengan berpedoman pada falsafah Jawa dan fokus utamanya yaitu membahagiakan Sri cucunya. “Nduk, memang sudah aku niati untuk menyekolahkan kau sampai tinggi. Itu sudah janjiku kepada orangtuamu yang—oh, Allah, kok ngenes betul lelakonmu—sudah meninggal. Aku, embahmu, nDuk, belum akan merasa selesai sebelum aku melihat engkau selesai sekolah di kota, kawin, dan sebelum aku bisa memangku cucuku.” (Kayam, 2003:185) Kutipan di atas memperlihatkan, betapa embah itu sangat menyayangi cucunya. Apapun yang terjadi cucunya harus sekolah yang tinggi dan dia belum merasa tuntas jika usaha itu belum menampakkan hasilnya. Untuk merealisasikan niatnya itu Embah menganalogikan dirinya sebagai Kunti (ibu para Pandawa) yang rela berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya (Kayam,2003:186). Ini menunjukkan bahwa ideologi tradisionalisme (falsafah Jawa) sangat kuat dalam diri Embah. Dalam mewujudkan ideologi kesadarannya, membahagiakan cucunya dan hidup dalam falsafah Jawa, embah memberi wejangan kepada Sri. Mulai dari bagaimana menghadapi dan memanjakan suami di ranjang sampai ke cara memuaskannya dalam urusan dapur. Pendeknya bagaimana mendukung suami agar betah di rumah dan giat dalam bekerja sehingga suami betul-betul merasa menjadi lelaki yang sangat lelaki, yang dimanja dan dinomorsatukan oleh istrinya. Seorang istri harus tahu keinginankeinginan suami, seorang istri harus tahu kekuatan dan kelemahan suaminya, yang pada gilirannya hal itu dipergunakan untuk memuaskan suami. Sebagai seorang perempuan Jawa harus siap dengan dua hal, yaitu berita kematian suaminya dan berita perkawinan suami. Hal ini seperti yang dirasakan Sembadra, ketika bersuamikan Arjuna yang ksatri dan tukang kawin.Dapat dikatakan Ideologi Sri adalah tradisionalisme dengan falsafah Jawanya sebagaimana yang diajarkan embahnya. Di sini telah terjadi penyebaran yang dilakukan oleh Embah kepada Sri melalui common sense, yaitu penyebaran melalui orang awam sehingga hal itu diterimanya tanpa adanya pikiran untuk mengkritisinya. Setelah menikah dengan Sumarto, Sri naik ke dalam kelas priyayi. Meski demikian dia dan Sumarto masih tetap rajin mengurus sawah. Jadi, di sini Sri seorang priyayi sekaligus feodalis yang mengandalkan tanah sebagai penghasilan material. Pada episode menikah ini formasi ideologi Sri adalah priyayi, feodalisme, dan tradisionalisme. Yang paling menonjol pada diri Sri adalah yang menandakan dirinya seorang tradisionalisme yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa. Dalam hal ini pengaruh wejangan dari embahnya sangat kuat tertanam di dalam dirinya. Dia selalu menganalogikan dirinya sebagai Sembadra yang akan selalu memberi kepuasan kepada suaminya. Elemen kesadaran tradisinalisme dalam diri Sri adalah membahagiakan suaminya setinggi-tingginya. Hal ini terlihat dari sikapnya ketika memperlakukan Sumarto suaminya, sehingga suaminya itu kerasan tinggal di rumah karena mendapatkan kenikmatan yang penuh dari Sri. Bahkan ketika Sumarto ditawari untuk mengawini seorang gadis cantik anak Pak Carik, Sumarto menolaknya dengan alasan istri satu pun sudah cukup. Seperti terlihat dari kutipan di bawah, “Husy, husy, husy. Jangan omong gitu. Kalau ada setan lewat, susah kita nanti. Dan lagi, kau kurang apa? Punya satu saja dimakan enggak habishabis kok, mau dikasih satu lagi.” (Kayam, 2003:192) Dari kutipan itu kita bisa melihat Sumarto, yang meski mempunyai kesempatan untuk menikah lagi, tetapi menolak kesempatan itu. Hal ini disebabkan oleh pelayanan Sri yang memuaskan, sehingga dalam pikirannya tak ada gunanya buat menikah lagi. Formasi ideologi Sumarto adalah priyayi, tapi juga kita bisa melihat petani pada dirinya. Elemen kesadarannya sebagai priyayi/guru adalah mengajar dan menghasilkan uang untuk kebahagiaan rumah tangganya. Pernikahan Sri hanya berumur 12 tahun, suaminya meninggal akibat sakit eltor. Tentu saja hal ini menyakitkannya, setelah ditinggal embahnya dia juga harus ditinggal mati suaminya. Setelah suami dan embahnya meninggal, Sri hidup dengan Tun anak tunggalnya dari perkawinan dengan Sumarto. Pusat perhatiannya sekarang terfokus kepada bagaimana membesarkan Tun agar menjadi anak yang dapat dibanggakan sesuai dengan kata-kata terakhir suaminya menjelang meninggal. Ada pergeseran peran dalam diri Sri sepeninggalnya Sumarto. Dia tidak lagi menganalogikan dirinya sebagai Sembadra tetapi sebagai Kunti, ibu pandawa yang siap berkorban untuk kebahagiaan anaknya. Formasi ideologisnya pun bergeser, Sri menjadi bekas priyayi, dia juga mempunyai tambahan formasi ideologis yaitu sebagai buruh, sedangkan sebagai feodalisme dan tradisionalisme tetap melekat di dirinya. Formasi ideologis sebagai buruh didapatkannya karena dirinya merasa tidak mampu mencukupi biaya hidup keluarganya jika mengandalkan gaji pensiun suaminya dan penghasilan sawahnya. Dia memilih untuk jadi penjahit dan penjual pisang goreng untuk menutupi kekurangan kebutuhan ekonominya. Elemen kesadaran tradisionalismenya tidak lagi untuk kebahagiaan suaminya tetapi ditujukan untuk kebahagiaan anaknya, untuk menyekolahkannya setinggi-tingginya. Cita-cita Sri gagal, Tun menikah dengan Yos karena hamil sebelum resmi menjadi suami istri, sekolahnya terpaksa harus berhenti. Menghadapi hal ini Sri dengan sangat tabah menerimanya bahkan sebagai ibu dia tetap bertekad untuk membahgiakan anaknya dengan membuat pesta pernikahan yang cukup megah untuk ukuran di kota kecamatannya meski untuk hal ini dia harus meminjam uang dan menggadaikan sawahnya kepada Mohammad. Kelak hal ini menjadi diskusi yang menarik antara Sri dengan menantunya Yos, ketika Yos dengan semangat akan melenyapkan tuan-tuan tanah. Dua tahun setelah pernikahan anaknya, Sri diboyong ke kota J oleh Tun dan Yos. Di sini Sri menyaksikan bagaimana kegiatan anak-anaknya. Setiap hari, siang atau malam, rumah kontrakan kecil itu hari-harinya hampir diisi dengan diskusi dan diskusi. Para peserta diskusi itu tak lain adalah anggota CGMI dan Gerwani. Bahkan sering juga para peserta diskusi itu latihan sandiwara, meski sandiwara itu dianggap aneh oleh Sri kacau karena menurutnya pemeranan raja-raja Jawa telah keluar dari formasi ideologisnya. Setelah perpindahan dari desa ke kota ini Sri tidak lagi sebagai buruh, feodalisme, atau priyayi. Formasi ideologinya adalah tradisionalisme. Ini menunjukkan bahwa latar sosial, waktu, dan tempat memengaruhi keadaan seseorang. Sri sering dikacaukan pikirannya oleh diskusi-diskusi yang didengarnya. Dia tidak mengerti istilah ganyang, BTI, sosialisme, Gerwani, dll. Dia hanya menyaksikannya tanpa ikut berperan aktif, paling-paling dia membantu Tun menyediakan kopi bagi peserta diskusi. Di sini Sri cukup demokratis tidak berusaha mencegah Tun dalam kegiatan itu sebagaimana dirinya juga dulu tidak memaksa Tun untuk mendalami tradisi Jawa, dirinya tetap memberi kebebasan pilihan kepada Tun sembari tetap mendoakannya. Dia tetap berperan sebagai Kunti yang harus berkorban demi kebahagiaan anaknya. Pada akhirnya kegiatan Tun dan Yos berhenti, kedua anak itu pamit kepada Sri dengan alasan untuk menyelamatkan diri. Menurut Yos telah terjadi pemberontakan di Jakarta yang dilakukan para jenderal, dirinya dan Tun harus menyelamatkan diri karena merupakan bagian dari peristiwa itu. Sri tidak mengerti, tapi harus merelakan anaknya pergi. Dia tinggal berdua dengan Ginuk, cucunya yang berumur 3 tahun. Sri yang tradisionalis dan menganalogikan sebagai Kunti tetap tabah dan berusaha untuk membesarkan Ginuk. Bahkan ketika Tun datang dari pelariannya dengan membawa kabar bahwa Yos mati, Sri tetap tabah. Dia ingin menyelamatkan Tun dengan menyerahkannya ke Kodim, karena sebelumnya dijanjikan oleh Pak RT tidak akan menghukum mati Tun. Formasi ideologisnya dan elemen kesadarannya yang tradisional tetap merupakan kekuatan Sri, dia ngelakoni untuk mencari wisik dengan tidur di halaman rumah. Pada akhirnya dia mendapatkan wisik itu, Sri bermimpi bertemu dengan suaminya yang meminta dipijit. Sri menafsirkan mimpi itu, dia memutuskan untuk menjadi tukang pijit. Usahanya cukup berhasil, dia mempunyai langganan cukup banyak dan dari hasil kerjanya itu Sri dapat mencukupi hidupnya bersama Ginuk. Sri mengalami pergeseran formasi idiologi lagi, dia menjadi buruh yang bekerja menjual jasa pijitnya kepada pelanggan. Dalam hal ini, Sri tidak lagi sebagai seorang perempuan Jawa yang tangguh memegang tradisinya. Dia telah terpesona oleh ketampanan pemuda kota (kapitalis) sehingga dirinya dengan begitu mudah masuk dalam pelukan pemuda itu. Elemen kesadarannya yang tradisionalisme tidak lagi cukup menjaga dirinya, terutama menyangkut kesetiaan pada nilai keperempuanan Jawa. Sri memang berusaha untuk membahagiakan anaknya dan Ginuk dengan bekerja keras sebagai tukang pijit, tetapi di situ pula Sri runtuh dan tak dapat mempertahankan nilai-nilai Jawa-nya. Ini juga bisa ditafsirkan bahwa nilai-nilai tradisional mulai goyah oleh serbuan kapitalisme. b. Tun Tun, anak tunggal Sri, dia seorang tamatan SMP dan gagal melanjutkan sekolahnya karena menikah. Sebetulnya Tun bisa saja melanjutkan sekolahnya tetapi dia telah memilih untuk aktif di organisasi Gerwani. Formasi idiologi Tun adalah komunis yang berusaha untuk membantu rakyat kecil dalam memperbaiki tingkat kehidupan, dalam memperbaiki kelas. Sri seorang tradisional dan berupaya untuk menyebarkan hegemoni itu, tapi Tun hanya menerima tidak dengan sepenuhnya atau boleh dikatakan menolak formasi idiologis tradisional yang diwejangkan Sri. Jika Sri ketika diberi wejangan oleh embahnya tentang falsafah Jawa menikmati dan mempraktikkannya, Tun tidak demikian. Dia memang tidak sepenuhnya menolak, misalnya Tun masih mau dan bisa mengenakan busana tradisional Jawa. Hal ini dilakukan untuk menyenangkan ibunya, misalnya dia mengenakan kain dan kebaya itu disaat kenaikan kelas, perpisahan dan acara-acara lainnya. Jika ditanya tentang hal ini, Tun mengatakan itu sudah modelnya begitu sekarang, dan Sri menerimanya dengan kebijakan bahwa semua itu mungkin sesuai dengan perkembangan zaman, (Kayam,2003:201). Formasi idiologi Tun didukung oleh elemen solidaritas-identitasnya dengan menjadi anggota Gerwani. Elemen solidaritas-identitas ini mampu mengikat Tun dan berkiprah di dunia sosialnya. Gerwani adalah organisasi wanita untuk PKI, dengan demikian Tun mempunyai elemen kesadaran untuk menolak faham lain dan mendukung faham komunis yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat miskin (subaltern). Dalam aktifitas di Gerwani-nya, kita bisa melihat adanya kebudayaan bangkit. Kebudayaan yang bangkit adalah praktik-praktik, makna-makna, dan nilai-nilai baru; hubungan dan jenis hubungan yang tidak hanya bersangkutan dengan ciri-ciri yang semata baru dari kebudayaan dominan, melainkan secara substansial merupakan alternatif bagi dan bertentangan dengannya. Ciri-ciri yang menunjukkan budaya bangkit ini sudah dimulai ketika Tun menolak falsafah Jawa yang diwejangkan ibunya. Dalam praktik berorganisasi budaya yang bangkit misalnya dicirikan dengan penggunaan bahasa Indonesia dalam diskusi-diskusi meskipun misalnya itu diantara sesama suku. Untuk lebih mempercepat tersebarnya ideologi penggunaan bahasa yang lebih luas dan mapan mutlak diperlukan. Tun kian lincah dalam keanggotaan Gerwani, dalam diskusi-diskusi dia selalu lincah berdebat dan mengemukakan pendapat. Sri kagum, anak kecamatan itu ternyata anak yang cerdas dan lincah (Kayam,2003:216). Di sini elemen kebebasan Tun mendapat tempatnya, tema diskusi adalah perjuangan dalam memperbaiki kelas yang terpinggirkan dan menentang kelas mapan/kaya. Dengan demikian formasi ideologi komunis telah mendapatkan sokongan dari elemen-elemen yang ada pada diri Tun dan lingkungan sosialnya. Aktifitas dan gerakan Gerwani dan CGMI gagal. PKI sebagai pusat organisasi telah dianggap memberontak oleh pemerintah dan semua anggotanya harus dilenyapkan/dihukum. Tun dan Yos melarikan diri untuk mencari keselamatan, ntah ke mana. Tetapi, enam bulan setelah Tun pamit pada Sri, dirinya datang dengan segala kelelahannya. Yos ditembak mati dalam persembunyiannya. Dan Tun sendiri akhirnya diserahkan ke Kodim oleh Sri, setelah sebelumnya Pak RT berjanji untuk tidak menghukum mati Tun (Kayam,2003: 223). Hal ini dilakukannya karena Sri takut Tun dihukum mati. Sebenarnya Tun tidak percaya pada apa yang dijanjikan Pak RT, Bah, janji Pak RT. Dia itu kan antek tentara (Kayam, 2003:223). Pada episode ini, yaitu setelah peristiwa pemberontakan, formasi idiologi Tun menjadi tidak jelas, dirinya dihukum karena formasi ideologi komunisnya, elemen kesadarannya adalah keinginan untuk bebas dan selamat dari kejaran lawan politiknya, elemen solidaritasidentitasnya telah hancur dan dinyatakan sebagai musuh berat yang harus dilenyapkan oleh lawan politiknya. Karena itu sangat beralasan jika Tun tidak percaya pada janji Pak RT yang dianggapnya sebagai antek tentara, yang hendak menggamekan dirinya sehubungan dengan aktifitasnya sebagai Gerwani. c. Yos Yos adalah suami Tun, menantunya Sri. Dia seorang tokoh organisasi CGMI yang telah membawa Tun aktif di Gerwani. Sebagai tokoh CGMI formasi ideologinya adalah komunis, yaitu faham sosialis yang menghendaki adanya kesamaan kelas. Elemen kesadaran yang ada pada Yos, adalah mengusahakan atau memperjuangkan kesamaan kelas, menaikkan harkat rakyat miskin dan menentang para penguasa kaya yang mendominasi sosial ekonomi rakyat. Untuk merealisasikan ideologinya Yos didukung oleh elemen solidaritasidentitasnya dengan menjadi menjadi tokoh CGMI. Elemen kebebasannya, Yos merealisasikan ideologinya bersama kawan-kawan seideologinya dengan aktif menyebarkan gagasan-gagasannya lewat diskusi, ceramah, dan kesenian. Dalam hal ini elemen kebebasan komunis adalah membebaskan rakyat tertindas dan menentang penguasa yang menindas. Tentang kesenian, dalam hegemoni merupakan sarana persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik (Harjito, 2002:23—24). Hal ini juga merupakan bentuk penyebaran gagasan yang bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor (Faruk, 1994:70). Kesenian yang dilakukan Yos merupakan bentuk folklor yang meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahyul-tahyul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu. Dalam hal ini Yos membuat pertunjukan sandiwara dengan memparodikan dan mendekonstruksi kisah raja-raja penguasa Jawa (Kayam,2003:216). Tujuannya tentu saja untuk menggambarkan dan memberi masukan ideologi kepada penontonnya bahwa yang dilakukan raja-raja dengan meminta upeti kepada rakyat adalah hal yang harus ditentang. Memang ini bertentangan dengan hegemoni Jawa selama ini, yang begitu mengagungkan rajarajanya dan menganggap penarikan upeti sudah selayaknya dilakukan (Kayam,2003:217). Bagi Yos, hal ini merupakan sebuah usaha untuk mencapai hegemoni, yaitu dengan menyebarkan ideologi. Dan penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya seperti bentuk-bentuk sekolah dan pengajaran atau berbagai lembaga penerbitan (Faruk,1994:74). Tetapi bagi Sri yang tradisional, sandiwara denga cerita raja-raja Jawa yang dijungkirbalikan dari tradisi merupakan hal yang aneh dan tidak boleh terjadi. Mereka toh raja-raja pepunden, pujaan kita, keluh Sri. Kudu dihormati dan dimuliakan. Kalau raja itu memerintahkan rakyatnya untuk perang dan membayar upeti, bukankah itu sudah kewajiban seorang raja? (Kayam, 2003:217). Yos, dengan elemen solidaritas-identitasnya, melakukan aksinya dengan mengambil alih tanah-tanah rakyat yang telah dikuasai tuan tanah untuk dikembalikan dan digarap oleh rakyat. Di sini, kita melihat kebudayaan yang bangkit. Ideologi komunis direalisasikan di lapangan. CGMI dengan didukung oleh para petani, guru, pelajar, pegawai pemerintah melakukan perlawanan yang terorganisasi untuk melumpuhkan tuan tanah. Pengambilalihan tanah ini misalnya terjadi pada Mohammad yang merupakan tuan tanah di kampung Sri, yang juga telah menguasai tanahnya. Dalam peristiwa ini Sri merasa kasihan kepada Mohammad, karena menurutnya dia tidak bersalah. Justru Mohammad dianggap sebagai penolong ketika Sri membutuhkan uang dalam peristiwa menikahkan Tun dengan Yos. Hal ini bersebrangan dengan Yos yang mengangap Mohammad seorang tuan tanah yang harus diberi pelajaran, yaitu dengan mengambil alih tanah itu sebab menurut Yos ada ketidakadilan dalam praktik pembagian hasil. Tetapi pada akhirnya, usaha Yos untuk menciptakan hegemoni baru ini gagal. Dia melarikan diri dan ditembak mati oleh tentara. Dari uraian di atas dapat digambarkan formasi ideologi dalam Sri Sumarah adalah sebagai berikut. Tabel: Tokoh, Elemen Ideologi, dan Formasi Ideologi pada “Sri Sumarah” TOKOH Sri Sumarah Embah Sumarto Tun Yos Kelompok Tokoh subaltern subaltern dominan subaltern dominan Kategori Tokoh rakyat rakyat guru intelektual pemimpin Latar Sebelum dan sesudah Th 60-an, menjelang dan sesudah G30SPKI, kota kecamatan dan kota J Kota kecamatan, sebelum thn 60-an Kota kecamatn, menjelang thn 60-an Kota J, thn 60-an menjelang dan sesudah G30 S PKI Kota J thn 60-an menjelang dan sesudah G30 S PKI Formasi Ideologi Priyayi, buruh,feodalis, tradisionalis Feodalis, Petani, tradisionalis Priyayi, petani Komunis pelajar Komunis intelektual Ideologi Dominan tradisionalis tradisionalis priyayi komunis komunis Elemen Kesadaran Kebahagiaan anak cucu adalah segalanya Kebahagiaan cucu adalah segalanya Memberi pelajaran Persamaan kelas Persamaan kelas Elemen Solidaritas Identitas Gerwani CGMI Elemen Kebebasan Bekerja keras menyekolahkan mengajar Menghapus perbedaan kelas Menghapus perbedaan kelas 3. Formasi Ideologi Sri Sumarah dan Masyarakat Ideologi dominan dalam cerpen ini adalah ideologi tradisionalisme. Dominannya ideologi ini diwakili oleh tokoh Sri Sumarah, seorang tokoh utama dalam cerpen ini. Semenjak remaja, menikah, ditinggal mati suami, ikut ke J bersama Tun, sampai dihukumnya Tun, Sri senantiasa menjadikan tradisionalisme dengan falsafah Jawa sebagai pedoman hidupnya. Ketika masih menjadi seorang istri dia menganalogikan dirinya sebagai Sembadra (istri Arjuna) yang sangat tahu memanjakan dan memuaskan suami. Ketika ditinggal suami dan harus membesarkan Tun seorang diri, Sri menganalogikan dirinya sebagai Kunti (ibu para Pandawa yang dengan kerelaannya berkorban untuk anak-anaknya. Kita tahu bahwa peristiwa kelam Gerakan Tigapuluh September atau sangat populer dengan sebutan G30S PKI, mempunyai efek psikologis yang besar di sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Korban jiwa sebagai efek dari peristiwa itu takkurang dari 500 ribuan orang4. Dan kebanyakan dari korban itu dibunuh dan dikubur layaknya binatang. Bahkan sampai runtuhnya Orde baru yaitu tahun 1998 efek peristiwa itu masih terasa sengak. Berapa ribu orang yang ditebas masa depannya hanya karena dianggap sebagai keluarga PKI, mereka semua menjadi warga negara yang cacat sepanjang waktu dalam pemerintahan Orde Baru. Sri Sumarah hidup dalam dekade ini, dia menjadi saksi bagaimana tumbuh dan berkembangnya komunis lewat anak-anaknya yang memang kebetulan aktifis organisasi yang bernaung di bawah PKI. Tokoh yang formasi ideologinya tradisionalisme ini selalu menghadapi kehidupan dengan nilai-nilai falsafah Jawa yang dianutnya. Dia mendapat kebahagiaan yang penuh ketika dirinya masih bersama suami dan anaknya. Pada saat itu dunia politik di Indonesia belum sampai ke arah pertentangan yang keras. Jadi, sebagai istri seorang guru dia hidup tentram dengan memegang teguh nilai-nilai Jawanya. Dan keteguhan Sri dalam memegang nilai-nilai Jawa ini berlanjut terus sampai ke puncak penderitaannya ketika Tun anak tunggalnya harus dipenjara karena terlibat sebagai anggota Gerwani, juga Yos menantunya harus mati karena merupakan tokoh CGMI. Sri, meski jalan hidupnya tersendat-sendat dia tetap selamat, dalam arti belum pernah ada penderitaan yang menyakiti fisiknya secara langsung. Buku sejarah versi Orde Baru begitu menajiskan PKI sampai ke akar-akarnya, sampai ke tulang sumsumnya, mungkin juga sampai ke arwah-arwahnya merupakan sumber kebencian dan alasan untuk suatu doktrin yang takkan habis. Sehingga hampir semua rakyat mempunyai pemikiran yang seragam dengan pemerintah tentang betapa kejamnya PKI itu. Kita sering mendengar istilah di-PKI-kan untuk orang-orang yang mempunyai daya kritis dan radikalitas tertentu terhadap pemerintah Orba, lantas orang sekapasitas itu dipinggirkan oleh pemerintah. Bahkan jika ada suatu kekejaman yang di luar batas kemanusiaan orang-orang mengistilahkannya ‘sadis seperti PKI’. Kondisi Sri yang tradisional dengan kategori subaltern ini sesungguhnya adalah gambaran formasi ideologis pada zaman itu. Masyarakat yang baru melangkah ke hidup modern, masyarakat yang masih kuat memegang tatanan tradisional, masyarakat yang pendidikannya sangat terbelakang, masyarakat yang pendidikan politiknya sangat lemah merupakan gambaran pada tahun 60-an. Dan pada saat itu rakyat Indonesia baru menjajaki sebuah zaman baru, dimana pemerintahan dikuasai oleh Orba yang berkendaraan politik Golkar. 4 Sebagian lagi ada yang menyebutkan hampir mencapai satu juta orang yang meninggal sia-sia Zaman Orba adalah sebuah zaman baru, hegemoni dan dominasi baru. Ginuk yang berusia 4 tahun telah hapal lagu wajib Golkar, organisasi politik yang berkuasa setelah Orla tumbang. Lagu Pemilu juga telah dihapal oleh Ginuk. Inilah suatu masa awal, hegemoni baru cap Orba, penyeragaman yang tak kepalang tanggung kuatnya. Di zaman Orba kita mengenal adanya KTP dengan tanda khusus Ekspol, yang berarti orang ini tersangkut dalam peristiwa G30SPKI, artinya dia tidak lagi sebagai manusia bebas yang bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu seperti yang non-ekspol. Ada larangan-larangan tertentu baginya dan tidak untuk yang lain. Bahkan lebih parah lagi, keluarganyapun harus ikut menanggung penderitaan itu. Tetapi Sri, meski anakanaknya terlibat langsung bahkan tempat tinggalnya sendiri dijadikan markas CGMI, dia tidak mendapatkan kekerasan atau hukuman. Sri juga tidak ikut terlibat langsung, padahal anak kesayangannya dan menantunya adalah aktifis yang diperhitungkan di kota J. Apakah karena Sri begitu kuat memegang ideologi tradisionalismenya, dengan falsafah Jawa yang dijadikan acuan hidup. Bahkan ketika gerakan itu berakhir dan Sri tak mempunyai apapun untuk menghidupi diri dan cucunya, dia tetap teguh untuk berpegang pada tradisionalisme. Dia menjalankan laku, meminta wisik dengan tidur di halaman rumah. Lantas dirinya terselamatkan dengan pekerjaan barunya sebagai tukang pijit. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di zaman itu lebih didominasi oleh budaya mistis, yaitu lebih mengutamakan penyelesaian sebuah persoalan dengan jalan kebatinan ketika hal-hal yang logis tidak bisa dijalankan dengan sepenuh hati. Logika karena desakan dan kokohnya situasi politik mendapat tempat di nomer kedua setelah mistis. 4. Negosiasi Ideologi Saksi hidup atas peristiwa itu tentu saja mempunyai persfektif yang berbeda, tidak semuanya mengatakan iya atas apa yang diopsikan oleh Orde Baru, bahwa G30 S PKI yang didalangi oleh PKI adalah peristiwa yang sangat kejam dan tak termaafkan. Karena itu PKI dan ormas-ormas binaannya dilarang di Indonesia, termasuk para pelaku dan juga yang dekat dengannya terutama keluarganya dipinggirkan dari panggung politik Indonesia, dari anggota warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setidaknya pasti ada penolakan di dalam hatinya jika memang dirinya tidak setuju dengan opsi itu. Dan Umar Kayam adalah segelintir orang yang merasa kebingungan atas apa yang terjadi pada peristiwa kelam itu. Di usianya yang relatif muda (34 tahun) dirinya dipercaya oleh pemerintah Orde Baru untuk memimpin sebuah lembaga nasional, Direktur Jendral Radio, Televisi, dan Film. Seperti yang diungkapkannya dalam tulisannya, dia merasa kebingungan atas peristiwa besar yang terjadi saat itu. Terutama masalah pembersihan orde yang telah lapuk yang harus diganti dengan arde yang baru. Di situ dia bertanya tentang korban yang harus menjadi korban dan korban yang seharusnya tidak menjadi korban (Kayam, 1983:107--109). Dan usaha pemahaman atas peristiwa itu Umar Kayam membuat beberapa cerpen, yakni Bawuk, Musim Gugur Kembali di Connecticut, Kimono Biru, dan Sri Sumarah. Mengapa dengan cerpen? Pertanyaan itu saya kira bisa kita jawab dengan membaca tuntas cerpen-cerpen itu sembari mengingat kembali betapa pemerintahan Orba sangat sensitif terhadap wacana-wacana kritis tentang ketimpangan kekuasaan yang menyangkut dirinya. Karya sastra adalah bentuk ekspresi pengaranganya tentang sesuatu yang ada dalam pikiran dan hatinya. Kelebihan karya sastra jika dibanding dengan tulisan lain adalah bentuk ketaklangsungannya atau ungramtikalnya, sehingga karya sastra sangat bisa untuk menjadi aman dari kontrol pemerintah yang terlalu sensitif dengan kekritisan rakyat. Karya sastra bisa mengungkapkan A dengan tidak harus langsung A, tetapi dengan cara lain dengan hakikat yang tetap sama sebagai A. Begitu juga Umar Kayam, dia menulis Sri Sumarah tak lain karena kebingungannya harus berada di posisi mana. Jika dia menulis secara langsung tentang siapa yang pantas dihukum dan siapa yang tidak pantas lewat karya ilmiah atau esai di koran, tentu saja mengandung risiko yang besar dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Radio, Televisi, dan Film juga sebagai warga negara yang berada dalam rezim Orba. Ideologi dominan dalam Sri Sumarah yaitu tradisionalisme yang diwakili oleh tokoh Sri. Agak sulit mengkategorikan tokoh Sri, apakah masuk tokoh dominan atau subaltern. Dalam perjalan hidupnya Sri tidak didominasi oleh suatu kelas atau juga sebaliknya mendominasi kelas tertentu. Baginya hidup hanya menerima saja, jika ada pun yang mendominasi hal itu dianggapnya sebagai takdir Tuhan yang tidak dianggap sebagai menguasai. Jadi, karena sikapnya yang menerima dan pasrah itulah saya memasukkan Sri ke dalam kategori tokoh subaltern. Seperti dalam esainya, Umar Kayam sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana hiruk-pikuk peristiwa pada zaman peralihan itu. Dia ingin mengatakan siapa yang harus jadi korban dan siapa yang harus tidak menjadi korban. Ada dua tokoh muda, yaitu Yos dan Tun sebagai aktifis PKI, formasi ideologi keduanya adalah komunis yang ingin memperjuangkan kelas tertindas dan melawan kelas penindas. Juga kita mengenal Pak Camat sebagai simpatisan PKI, dengan formasi ideologi priyayi. Dan tentu saja Sri, orangtua dari kedua anak muda tadi, dengan formasi ideologi tradisionalisme. Dalam cerpen ini Yos mati ditembak oleh tentara ketika dalam pelarian. Tun hanya dihukum penjara atas bantuan Pak RT yang kebetulan pejabat Pemda. Pak Camat dibebaskan dari tugasnya dan dipenjarakan karena menjadi simpatisan PKI. Dan Sri, kehilangan gaji pensiun suaminya juga rumah dan sawahnya karena dipergunakan oleh para aktifis PKI, namun dia tetap bisa hidup bebas dan membesarkan generasi keduanya yang hidup di zaman Orba. Lewat cerpennya Umar Kayam menggambarkan bagaimana seharusnya pemerintah Orba mengatasi peristiwa pasca G30S PKI. Yos sebagai tokoh organisasi mungkin memang sudah seharusnya dihukum mati karena telah mempengaruhi dan mengajak rakyat untuk melakukan pemberontakan. Tun, yang kualitasnya di bawah Yos, cukup dipenjara saja tidak perlu dihukum mati atau ditembak mati. Pak Camat sebagai simpatisan, cukup dikeluarkan dari pekerjaannya atau dipenjarakan karena dianggap tidak setia terhadap pemerintah, tidak perlu ditembak mati. Adapun Sri, yang tidak mengerti apa-apa tentang peristiwa ini, tidak usah dihukum atau dipinggirkan dari panggung kehidupan sebagai warga negara meski anaknya terlibat dalam G30S PKI. Dalam hal ini Umar Kayam menegosiasikan formasi ideologi. Formasi ideologi komunis dengan kategori dominan harus dilenyapkan atau ditembak mati. Formasi ideologi kategori subaltern, seperti Tun, tidak perlu ditembak mati, cukup dipenjarakan saja. Formasi ideologi priyayi, seperti halnya Pak camat yang menjadi simpatisan PKI, cukup dipenjarakan saja, tidak perlu dihukum mati. Formasi ideologi tradisional, seperti Sri, yang kedua anaknya menjadi aktifis PKI tidak perlu dilibatkan karena tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa tentang peristiwa itu. Sri, memang kehilangan tanah dan rumahnya karena dijadikan tempat oleh aktifis PKI, tetapi di situ disebutkan bahwa hal itu pasti akan kembali lagi, cuma soal waktu saja. Bentuk negosiasi ideologi ini jika dijalankan pemerintah Orba mungkin takkan ada korban yang ratusan ribu jumlahnya dengan mati sia-sia tanpa pengadilan sama sekali. Dari negosiasi ideologi ini kiranya cukup jelas, siapa sebenarnya yang harus jadi korban dan siapa yang tidak harus jadi korban. Dengan lain kata, Orba tidak perlu membabi buta, sekehendak hati membunuh sesama manusia yang sebetulnya adalah rakyatnya sendiri. ***** Daftar Pustaka Faruk, H.T. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hardjana, Andre. 1991. Kritik sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Harjito.2002. Studen Hijo Karya Mas Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni Gramscian. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Haryatmoko. 2002. Kekuasaan Melahirkan Anti kekuasaan. Basis. Edisi Januari- Februari Kayam, Umar. 1983. Tentang Proses Penulisan Cerita Saya. BasisXXXII (3) -----------------. 1975. Sri Sumarah. Jakarta. Pustaka Jaya Simon, Roger. 2001 (cet III) Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terjemahan Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiono, Muhadi.1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar